Sidang Perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit, Jaksa Hadirkan 7 Saksi, Sebut Ada Dana Kamando 10 Persen

Teks foto: 7 saksi perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit/RMOLJatim
Teks foto: 7 saksi perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit/RMOLJatim

Pengadilan Tipikor Surabaya kembali menyidangkan perkara koneksitas Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018.


Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dari 10 saksi yang dijadwalkan untuk menjadi saksi dengan terdakwa dari pihak militer Didin Kamaludin dan terdakwa dari Sipil Ikhwan Nursyujoko.

Namun ternyata hanya 7 orang saksi yang hadir di ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya.

Ke 7 saksi tersebut yakni Setyo, Siti Maulina Khasana, Putri Wulandari, Sebastian Baim Prakoso, Eni Wati, Dwi Efendi Pamungkas dan Agung Budi Satriyo.

Dwi Efendi Pamungkas merupakan saksi pertama yang menjawab berbagai pertanyaan dari JPU, kedua pengacara dari dua terdakwa dan majelis hakim.

Dalam keterangannya saat bersaksi, Dwi Efendi Pamungkas blak-blakan membongkar kasus tersebut.

Ia mengaku semua terjadinya kontrak pekerjaan Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018 diketahui oleh saksi Agung Budi Satriyo.

Tak hanya itu dalam kontrak kerja pekerjaan Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018 juga ada penyertaan yanv harus dilakukan yakni biaya 10 persen dana komando.

"Disana itu sudah dutemoati rumah-rumah yang didiami persiunan TNi, dana komandobtersebut untul kerohiman bagi para pensiun," jelas saksi Dwi Efendi Pamungkas dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (21/11).

Dalam persidangan ini selain jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim dan Kejari Surabaya, juga ada oditur militer tinggi (Odmilti) III - 12 Surabaya yakni Kolonel Laut (H) Sunaryadi.

Untuk Majelis Hakim yang menyidangkan perkara pertama kali di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) di Indonesia ini berjumlah 5 orang, diantaranya Ketua majelis hakim, lalu 3 hakim Ad Hoc dan satu hakim dari militer yakni Kolonel dari TNI AD Sinambela.

Seperti diketahui dalam dakwaan Primair, JPU menyebut terdakwa Dindin Kamaludin bersama-sama dengan terdakwa Ikhwan Nursyujoko dan saksi Dwi Fendi Pamungkas serta saksi Agung Budhi Satriyo mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. PT. Sier Puspa Utama (PT. SPU), seluruhnya sebesar Rp. 1.330.000.000.

"Perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin dan terdakwa Ikhwan Nursyujoko sebagaimana diatur dan diancam pidana di dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH. Pidana.

Sedangkan pada dakwaan Subsidair, perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin bersama-sama dengan terdakwa Ikhwan Nursyujoko dan saksi Dwi Efendi Pamungkas serta saksi Agung Budhi Satriyo mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. PT. Sier Puspa Utama (PT. SPU), seluruhnya sebesar Rp. 1.330.000.000.

"Perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin dan terdakwa Ikhwan Nursyujoko sebagaimana diatur dan diancam pidana di dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," pungkas Joni Samsuri.

Seperti diberitakan, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan penggunaan dana yang dikeluarkan oleh PT. SPU, anak perusahaan BUMN PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER).

Dana tersebut akan digunakan untuk paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 tahun 2018 di Cipinang.

Terdakwa Ikhwan selaku pihak dari PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung pihak penerima paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018.

Lalu, paket pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT SPU untuk dikerjakan.

Mekanismenya, sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, Ikhwan meminta uang kepada PT SPU.

Totalnya mencapai Rp1,25 miliar.

Nah, setelah uang diberikan ternyata paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018 tidak ada alias fiktif.

Sedangkan, untuk peran tersangka dari Militer, yakni Letkol CZI DK, diduga menerima sebagian uang pembayaran dari Rp1,25 miliar tersebut.

Tak hanya itu, Letkol CZI DK juga berperan mengatasnamakan TNI yang akan mengadakan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018, kendati paket pekerjaan tersebut tidak ada.

Pihak PT SPU sendiri sebelumnya sudah dilakukan proses persidangan dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding atas nama Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian sebagai Direktur Utama PT SPU dan Agung Budhi Satriyo yang pada saat kejadian selaku Kepala Biro Teknik PT SPU.

Atas perkara ini, Letkol CZI DK dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang pada pokoknya menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.

Mereka adalah Dwi Efendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.

Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya.