Demi Masa Depan PG, Ketum AH Harus Lepas Jabatan Menteri atau Nonaktif 

Penasehat Partai Golkar Jawa Timur, Yusuf Husni (baju hitam) bersama Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam. Foto: RMOLJatim
Penasehat Partai Golkar Jawa Timur, Yusuf Husni (baju hitam) bersama Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam. Foto: RMOLJatim

SEMUA rakyat Indonesia supaya memahami terutama kader Partai Golkar (PG). Bahwa PG dengan paradigma baru didesain sebagai partai modern, mandiri, kuat, berakar, responsif, terbuka, dan toleran. Yang semua itu dikelola secara demokratis. Bukan otoriritarian yang dulu hanya sebagai alat mesin politik penguasa.

Dulu PG memang pemilik saham terbesar adalah penguasa sehingga dipakai sebagai mesin Pemilu untuk melegitimasi kekuasaan.

Tapi kini, pemilik saham terbesar PG adalah rakyat. Watak politik dan jati diri PG yang sekarang adalah sebagai kekuatan pembaharu. Paradigma baru PG mewujudkan pembaharuan internal terutama struktur atau kelembagaan.

Beda ketika dulu PG masih diatur penguasa dan mempunyai akses politik yang terlalu besar. Sehingga tidak bisa mandiri. Semua apa kata penguasa. Partai hanya sebagai stempel politik penguasa.

Namun dengan perubahan struktur organisasi dimana dulu peran pembina (penguasa) sangat dominan sebagai pemilik saham terbesar, kini pemilik saham terbesar PG adalah rakyat.  Jargonnya suara rakyat adalah suara Golkar.

Perubahan yang sangat mendasar adalah partai dikelola dengan mekanisme kolektif kolegial yang demokratis bukan otoritarian. Bukan apa kata pembina atau ketua umum atau penguasa.

Perubahan perilaku politik ini wajib dipahami oleh kader PG. Sekarang PG sedang dilihat, diperhatikan dan dinilai kesungguhannya melaksanakan perubahan dengan paradigma barunya.

Amanat Munas PG 2019 dengan memberikan kewenangan penuh kepada ketum PG untuk menentukan Capres dan Cawapres, justru merupakan bentuk pengingkaran dari paradigma baru PG.

Dengan menutup ruang Capres kepada kader lain, sangat tidak elok. Ironisnya kewenangan yang diberikan dipakai sendiri untuk mencalonkan diri. Dengan leluasa sosialisai diri melalui internal partai. Dengan jargon wajib setiap acara konsolidasi partai 'Golkar menang. Erlangga presiden'.

PG kembali ke otoriritarian lama. Seperti demokratis tapi tidak demokratis.

Sementara realita politik yang didapat elektabilitas partai dan Airlangga Hartarto (AH) tidak seperti yang diharapkan.

Berdasarkan matematik politik, modal 85 kursi seharusnya elektabilasnya sama. Namun realitanya di bawah jauh dari potensi yang dimiliki. 

Lalu mengapa target-target tidak tecapai? 

Ya itu, karena salah kelola. Sehingga pemilih saham banyak yang menarik sahamnya. 

Tidak ada bedanya dengan perilaku politik Golkar lama. Dulu semua apa kata penguasa, sekarang semua apa kata ketua umum.

Maka, ini wajib diingatkan dalam bentuk otokritik demi kelangsungan masa depan partai.

Semangatnya ingin berubah tapi perilaku politik otoriannya tetap dipelihara. Wajar, karena sudah  buta, bisu, dan tuli politik.  Mengingatkannya terpaksa harus di ruang publik.

Kalau masih tidak didengar karena kami adalah pemilik saham terbesar dan tidak mengharapkan di Pemilu 2024 PG hancur, maka jalan satu-satunya adalah ganti nahkoda. Melalui Munaslub.

Kami sangat paham Munaslub tidak mudah karena persyaratannya harus disetujui 2/3 pemilik suara DPD Provinsi. Tapi paling tidak materi otokritik bisa mengingatkan atas kesalahan yang dilakukan. Tentunya dengan sisa waktu yang masih ada.

Kalau PG ingin selamat di Pemilu 2024, maka wajib hukumnya kembali ke semangat paradigma PG. Partai melalui ketua partai jangan jadi alat penguasa seperti Golkar lama.  

Ketum AH sebagai menteri adalah pembantunya presiden. Sedang partai adalah pembantunya rakyat yang wajib dekat rakyat. Dua peran ini tidak akan mungkin bisa dilaksanakan.

Karena itu demi masa depan partai, Ketum AH harus melepaskan jabatan menteri untuk konsentrasi penuh mengurus PG dalam waktu yang sangat singkat ini.

Konsolidasikan seluruh kekuatan partai agar soliditas tetap terjaga. Sapa rakyat dan perjuangkan berbagai masalahnya.

Dengan adanya masalah hukum di ketum AH, tidak dipungkiri posisi elektabilatas partai akan semakin turun. Karena itu demi tetap terjaganya eksistensi PG, ketum AH harus nonaktif sementara dan menunjuk plt. Konsentrasi hadapi masalah hukumnya. Nanti bila selesai tidak ada masalah untuk kembali sebagai ketua umum.

Kini pemilik saham terbesar PG alias rakyat butuh kepastian politik. Segera laksanakan amanat Munas 2019, bikin poros baru dan tentukan capres secepatnya. Atau sekalian putuskan dukung Capres lain. Tidak seperti sekarang, Golkar dibuat mengambang. Tidak jelas arahnya. 

Kader di bawah jangan dibuat dungu politik, tetap disuruh kumandangkan jargon 'erlangga presiden', sementara Airlangga sendiri tidak punya tiket Capres atau Cawapres. Yang ada hanya mimpi buruk

* Penasehat Partai Golkar Jawa Timur