Puisi Amang 

Amang Mawardi saat membacakan salah satu puisinya dari kumpulan puisi berjudul
Amang Mawardi saat membacakan salah satu puisinya dari kumpulan puisi berjudul

PUNCAK wartawan adalah humanis atau kemanusiaan. Dan puncak karir wartawan adalah menulis buku. Begitu yang dikatakan Amang Mawardi, wartawan senior dan penulis buku dalam diskusi bertajuk "Menjaga Eksistensi" di rumah dedikasi Prof. Dr. Soetanto Soephiady, Minggu 5 November 2023 malam.

Menulis buku sudah menjadi karir baru Amang. Dia tidak lagi galak seperti di eranya. Kali ini lebih humanis. 

Apakah Amang seorang yang galak? Tidak juga. Dia wartawan biasa biasa sebagaimana diceritakan dalam bukunya "Memoar Wartawan Biasa Biasa: Di Senja Waktu Aku Tulis Buku". Tulisan Amang menceritakan perjalanannya semasa menjadi wartawan. Ada konflik batin sangat hebat di setiap tulisannya. Kalau dibilang galak semasa jadi wartawan, iya. Tetapi sebatas mengkritisi keadaan sosial pada waktu itu. 

Begitu pula saat menulis "Senja Keemasan Peter A. Rohi", semua ditulis secara humanis. 

Ya, ketika seorang wartawan semakin matang, maka gaya tulisannya juga akan bergeser. Sebagaimana gaya tulisan Dahlan Iskan yang setiap hari dimuat di laman Disway

Semua tulisan Dahlan bergaya humanis. Berkarakter. Semua konsep jurnalisme masuk di dalamnya. Dan tentunya enak dibaca. 

Amang juga seperti itu. 

Kata Amang, sosok wartawan bisa menjadi sangat humanis. Tergantung dari sudut mana orang memandangnya. Karena itu, wartawan harus berpihak. Yakni memihak yang lemah. 

Dalam diskusi malam itu, Amang kembali memperkenalkan karya terbarunya. Berjudul "Buku Waktu Tak Pernah Menipu". 

Beda dengan buku-buku sebelumnya. Kali ini buku Amang berisi kumpulan puisi. Ada puluhan puisi.

Amang menyebut puisi-puisi yang ditulis mewakili pengalamannya selama menjadi wartawan bertahun-tahun lalu.

Masalahnya di sini. Saya tidak suka puisi. Atau mungkin belum menyukainya.

Saya mengibaratkan puisi seperti matematika. Ada yang suka dan tidak suka. 100 kali diajari matematika, kalau tidak bisa tetap tidak bisa. 

Sama. Puisi juga begitu. Kalau tidak suka ya tidak suka. 

Muncul pertanyaan, apa yang membuat orang tidak suka puisi? Versi saya, karena puisi tidak riil.

Membaca puisi harus melibatkan  perasaan dan meningkatkan imajinasi panca indra. Itu karena puisi ditulis dari perasaan terdalam. Dalam istilah ilmu hakekat disebut rahsa. Penyampaiannya dilakukan dengan bahasa yang memiliki makna mendalam dan menarik.

Intinya, puisi mengandung semua unsur sastra di dalam penulisannya. Sehingga menjadikan puisi sebagai karya sastra yang egois dan sombong. 

Kendati di setiap puisi ditemukan kata-kata yang mengena di hati pembaca, tentu masih sulit untuk dicerna. Pasalnya, setiap hati manusia berbeda-beda. Kalau pun sama, itu kebetulan saja. Manusia tidak bisa membaca hati manusia lain. Bahkan malaikat sekalipun tak bisa membaca hati manusia. Sementara melalui puisi, curahan hati penulis dituangkan menjadi karya sastra. Dan kemudian pembaca diajak untuk mengaduk-aduk isi hati. Merenungkan arti dari setiap kata penulisnya.

Selain itu, saya juga menganggap semua karya puisi merupakan surealis. Menampilkan gambar objek yang nyata dalam kondisi yang seolah-olah tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Sehingga yang namanya surealisme memiliki citra seperti dalam keadaan mimpi.

Tahun 2004 saya pernah meliput teater yang digawangi Zainuri sewaktu di Dewan Kesenian Surabaya. Bersama teman-temannya dia memainkan satu permainan teater yang surealis. Lalu Zainuri menjelaskan konsep permainannya. Selama satu jam ngobrol. Tapi saya benar-benar tidak mengerti. Akhirnya pesanan martabak datang. Diskusi berakhir. Tulisan teater Zainuri akhirnya saya beri judul 'Teater kalah dengan martabak'. 

Hal sama dilakukan Meimura, yang dulu dikenal sebagai pemain monolog. Saat meliput latihannya di Cak Durasim, melihat saja saya bingung. Ada orang pegang bola. Diputar-putar. Meimura menjelaskan panjang lebar. Tetap saja tidak paham. 

Cuma saya ingat pesan Zainuri dan Meimura waktu itu, yang namanya kesenian itu dinikmati saja. Paham atau tidak paham, cukup dinikmati. 

Saat Garin Nugroho tampil di Cak Durasim dengan tema 'dongeng' kala itu, saya ingin membuktikan perkataan Zainuri dan Meimura. Bahwa pertunjukan seni cukup dinikmati. 

Saat itu Garin sedang mendongeng. Selama hampir dua jam dia bercerita ngalor ngidul gak jelas. Intonasinya datar-datar. Flat. Tidak ada emosi. Nadanya cempreng. Tidak enak didengar. Saya tetap tidak paham. Akhirnya saya pun tertidur. 

Saat bangun, acara 'dongeng' Garin Nugroho berakhir. Di situ saya baru paham maksud yang disampaikan Garin Nugroho. Bahwa yang namanya dongeng kerap disampaikan ketika anak-anak hendak tidur. Di situ ada kebosanan, ada cerita diulang-ulang, ada ketidakpedulian, ada kemuakan. Sehingga membuat penonton abai. Tidak fokus. Dan kemudian tertidur. Barangkali memang itu puncak karya seni Garin Nugroho. 

Sama halnya dengan puisi Amang. Kalau dia bilang puncak karir wartawan adalah menulis buku, maka saya tambahi di sini bahwa puncak penulis buku adalah menulis puisi. 

Saat menulis kumpulan puisi "Buku Waktu Tak Pernah Menipu", saya yakin ini adalah orgasme sosok Amang. 

Menulis puisi itu susah. Kalau sekedar menulis puisi di status, semua orang bisa. Tapi, benar-benar serius menulis puisi,  tidaklah mudah. Apalagi sampai karya puisi tersebut menjadi abadi seperti karya Chairil Anwar. 

Saya pernah menulis empat buah puisi. Keempat puisi itu kemudian saya masukkan dalam novel berjudul "Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan". Keempat puisi saya bagi di empat bagian buku untuk mewakili setiap bagiannya.

Jujur, saat menulis empat puisi itu, semua waktu harus digulung. Kembali ke masa lampau, sekarang dan masa depan. Susah. Walaupun di awal menulis puisi sudah ada niat ingsun, tetap saja kedodoran. Satu tulisan puisi berisi lima baris yang saya tulis membutuhkan waktu dua minggu. 

Karena itu, saya sangat mengapresiasi Amang Mawardi yang mampu menulis kumpulan puisi sebegitu banyaknya. Meskipun saya sendiri tidak paham pesan yang disampaikan penulisnya. 

Saya berkeyakinan, orang yang mampu menulis puisi seperti Amang, pastilah memiliki daya batin sangat kuat. Selamat buat senior. Tabik.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim